Kamis, 14 Juni 2012

ETNOPSIKIATRI

ETNOPSIKIATRI

Konsep-konsep tentang sebab penyakit dalam masyarakat rumpun dan petani, berbeda secara mendasar dengan konsep yang merupakan ciri pengobatan ilmiah. Sejauh ini telah mengamati perwujudan sistem kepercayaan itu, terutama dalam konteks penyakit akut, penyakit infeksi, dan penyakit yang melemahkan, yang terbanyak mengambil korban pada penduduk dunia. Namun etnomedisin juga mencakup studi tentang bagaimana masyarakat tradisional memandang dan menangani penyakit jiwa. Kebutuhan untuk menyatakan dikotomi antara penyakit fisik dan penyakit jiwa lebih merupakan refleksi dari konsensus Barat daripada orientasi masyarakat yang berakar dalam sistem kepercayaan naturalistik atau personalistik. Dalam berbagai masyarakat tersebut , etiologi penyakit mendorong persatuan, bukannya memisahkan keadaan fisik dari keadaaan emosional. Kalau di ingat penjelasan mengenai sebab-sebab penyakit sikap tersebut tidak mengherankan. Dimana para dewa, leluhur, setan, atau ahli sihir mendatangkan penyakit dengan cara masuk kedalam para korannya, mengambil jiwa mereka, berbicara melalui tubuh mereka, memerintah kehendak mereka, maka dapat dipastikan bahwa kekacauan, demam dan kesengsaraan fisik maupun emosional akan terjadi.

AWAL DARI ETNOPSIKIATRI
Perhatian awal dari para ahli antropologi terhadap penyakit mental mulanya sangatlah jauh dari bidang etnomedisin. Perhatian mereka itu mulai dari pemahaman atas hubungan antara kepribadian dan kekuatan budaya yang berpengaruh dan membentuk kepribadian. Perhatian utama ditujukan untuk menguji hipotesis Freud, untuk menentukan apakah Oedipus kompleks itu bersufat universal. Apakah fase perkembangan “oral,” “anal,” “genital,” dan “laten” dalam sejarah kehidupan individu bersifat universal ataukah hanya terbatas pada masyarakat khusus. Ada beberapa pertanyaan yang ditangani oleh para ahli antropologi:
1.    Defenisi budaya tentang “normal” dan “abnormal”, serta bagaimana penyakit jiwa diakui dan didefenisikan dalam masyarakat lain di luar masyarakat Amerika. Ahli antropologi bertanya “Tingkahlaku semacam apa yang dianggap mewujudkan penyakit jiwa dalam masyarakat di dunia?”
2.    Penjelasan non-Barat tentang penyakit jiwa. Sebagaimana dapat mengkaji etiolog-etiologi penyakit fisik non-Barat, juga dapat melakukan yang sama terhadap penyakit jiwa.
3.    Cara-cara dari segi budaya untuk menangani tingkah laku yang menyimpang yang didefenisikan sebagai abnormal. Ahli antropologi bertanya “siapa yang menembuhkan, bagaimana caranya, dan teori serta tujuan apakah yang mendasari pengobatan mereka?” Para ahli antropologi terutama menaruh perhatian kepada pertanyaan tentang “pengendalian” tingkahlaku psikik yang menyimpang melalu peranan yang secara sosial diinginkan, sepertinya misalnya dalam kasus shaman.
4.    Terjadinya penyakit jiwa dengan masayarakat dengan kompleksitas yang berbeda. Apakah, misalnya, sakit jiwa relatif jarang terdapat dalam berbagai masyarakat yng sederhana dan belum berubah, dan lebih umum di daerah perkotaan, simana stres diduga lebih berat?
5.    Demografi penyakit jiwa. “Histeria Artic” dan “mengamuk” adalah gangguan kejiwaan yang pertama muncul dalam tulisan etnologi. Gangguan lain yang dianggap gangguan psikik, misalnya latah dan koro, telah seringkali digambarkan. Penyakit budaya khusus tersebut menampilkan serangkaian masalah, berkenaan dengan sebabnya, frekuensinya dan kondisi pencetusnya, yang telah menarik perhatian ilmu antropologi. Mereka sering menggarisbawahi dimensi biobudaya yang penting dalam penyait jiwa.

DEFENISI BUDAYA TENTANG NORMAL DAN ABNORMAL
Berbagai tingkalaku luarbiasa yang dianggap psikiater Barat sebagai penakit jiwa ditemukan secara luas pada berbagai masyarakat non-Barat. Tidak semua jenis tingkahlaku luar biasa yang dikenal dalam  masyarakat (Amerika) terdapat dalam setiap masyarakat lain, dan dalam beberapa kebudayaan, telah dideskripsikan adanya sindroma (kumpulan tingkahlaku) yang asing bagi sistem klasifikasi (misalnya Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders yang disusun oleh America Psychiatric Assosiation).
1.    Kasus “teori label”
Adanya variasa yang luas dari kelompok sindroma dan nama-nama untuk menyebutkannya dalam berbagai masyarakat dunia, telah mendorong para ilmuan mengenai tingkahlaku untuk menyatakan bahwa penyakit jiwa adalah suatu “mitos”, suatu fenomena sosiologis, suatu hasil dari anggota masyarakat yang “beres” yang merasa bahwa mereka membutuhkan sarana untuk menjelaskan, memberikan sanksi dan mengendalikan tingkahlaku sesama mereka yang menyimpang atau yang berbahaya, tingkahlaku yang kadang-kadang hanya “berbeda” dengan tingkahlaku mereka sendiri. Argumen pokok yang mereka kemukakan adalahbahwa sekali tingkahlaku menyimpang diberi cap menyimpang, betapapun ringannya atau sementaranya gejala itu, akan tetap dijadikan stereotip dan stigma bagi yang bersangkutan. Kelompknya mengharapkan tingkalaku tertentu darinya, memperlakukannya sedemikian rupa sehingga ia menemukan tingkahlaku yang paling adaptifbaginya untuk menyesuaikan diri dengan apa yang diharapkan kelompoknya itu. “Suatu label psikiatri mempunyai kehidupan dan pengaruh tersendiri. Sekali terbentuk impresi bahwa pasien menderita schizophrenia, harapan orang adalah bahwa ia akan selamanya demikian.”

2.    Argumentasi terhadap pemberian label
Walaupun teori label menarik sebagai suatu pendekatan untuk memahami danmenangani penyakit jiwa, namun teori itu tidak banak diterima oleh para ahli antopologi yang bekerja dalam bidang lintas-budaya edgerton, misalnya, tidak menyukai label psikiatri yang bersifat menentukan sendiri, untuk mengidentifikasi sakit. Ia beranggapan bahwa kelompoklah, bukannya cap itu, yang menetapkan pengertian abnormalitas. Pengakuan dan penamaan penyakit jiwa, menurut pendapatnya, merupakan bentuk dari suatu proses negiosasi suatu transaksi sosial yang mencakup konsensus ekstensif dalam masyarakat. Edgerton mempelajari proses negoisasi diantara pasien, penyembuh, kerabat dan handai-tolan dalam pemberian label untuk penyakit jiwa pada empat kelompok masyarakat di Afrika dan menyimpulkan bahwa “Akibat tekanan negoisasi sosial , mudah sekali timbul presepsi tentang sakit jiwa tanpa pemberian cap selanjutnya, memberi cap pada tindakan selanjutnya, bahkan ada pula psikosis tanpa presepsi”. Label yang diberian, tindakan yang yang mengikutinya dan presepsi yang mendahuluinya, semua adalah hasil dari proses sosial yang melibatkan moral dan hukum. Pemberian label, katanya, bukanlah tindakan main-main ataupun sepihak, sebagaimana orang telah dibuat yakin. ”Bila perhatian dibatasi pada perbandingan pola-pola gejala dan bukannya pada ketegori-kategori diagnostik, maka sebagian besar hambatan lintas-budaya akan lenyap”.

ETIOLOGI-ETIOLOGI PENYAKIT JIWA NON-BARAT
Diantara orang Eskimo di pulau St. Lawrence yang telah terakumulasi, kesurupan dihubungkan dengan shamanisme, namun tidak dengan gangguan spikiatrik berat, walaupun hal ini berlaku di kalangan penduduk Eskimo lainnya yang kurang terakumulasi, magi dan ilmu sihir merupakan penjelasa, sebagai mana halnya dengan faktor stres yang dikatakan akibat “terlalu khawatir” dan “mudah takut” dan sebagainya. Faktor keturunan dijelaskan dengan sindroma “lamban belajar” yang dideskripsikan informan sebagai terdapat dalam keluarga-keluarga. Pelanggaran tabu, termasuk kawin sumbang, seringkali disebut-sebut sebagai penyebab ketidakwarasan. Seperti dapat dilihat, suatu karakteristik dari banyak kebudayaan non-Barat adalah adanya suatu sintesis dari suatu sistem medis dengan sistem kepercayaan lainnya, dalam hal ini merupakan masalah analitis yang serius bagi para pengamat Barat. Penggabungan antara pengobatan, kosmologi dan hukum yang nampak pada penduduk asli Australia adalah sedemikian rupa sehingga pemisahan sistem medisnya – dan khususnya sindroma penyakit jiwa – merupakan tantangan berat bagi para peneliti.
Sebagai suatu alat bantu studi tentang penyakit jiwa, ia menyarankan tentang beberapa klasifikasi “tematik” mengenai maladaptasi, yang masing-masing bermanfaat untuk tujan khususnya. Klasifiasi tersebut termasuk suatu skema ungkapan sehari-hari yang mendramatisir masalah akulturasi, suatu klasifikasi pribumi mengenai konsep penyakit seperti tenung, masuknya roh, dan sebagainya, suatu pemecahan dari ilmu tenung ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil sesuai dengan aturan yang tidak dinyatakan, dan penggunaan klasifikasi klinik modern mengenai penyakit jiwa yang berdasarkan atas Standard Nomenclature of Disease. “Klasifikasi ini membuat para ahli antropologi terheran-heran karena mencapur-adukkan antara etiolgi dengan perwuudan antara sebab-sebab dangan gejala-gajala, namun para pekerja medis telah terbiasa dengannya; dan pedoman itu adalah yang terbaik yang kita miliki.” Apabla dibuat generalisasi atas perbedaan etiologi kejiwaaan Barat dan non-Barat, faktor psikologis, pengalaman hidup dan stres nampak kurang memainkan peranan dibandingkan dengan yang terdapat dalam masyarakat Barat. 

CARA-CARA BUDAYA DALAM MENANGANI PENYAKIT JIWA
1.    Siapa yang menyembuhkan?
Walaupun banyak bentuk tingkahlaku menyimpang nampaknya bersifat universal, cara-cara untuk menanganinya, nilai sosial yang diberikan untuk tingkahlaku yang menyimpang, dara pengobatannya sangat bervariasi. Para ahli antropologi terutama menaruh perhatian pada ciri-ciri psikologis dan sosial dari para shaman. Berasal dari bahasa Tungus, Siberia, istilah tersebut digunakan dalam arti umum tentang penyembuh yang telah memiliki kekuatan supranatural dankontak dengan roh-roh, biasanya diperoleh melalui “pemilihan” oleh para roh. Dalam pengobatan, shaman biasanya berada dalam keadaan kesurupan, dimana mereka berhubungan dengan roh pembinanya untuk mendiagnosa penyakit. Para penganut paham kebudayaan relativisme dengan ekstrim menggunakan contoh shamanisme sebagai hambtan utama dalam argumentasi mereka bahwa apa yang disebut penyakit jiwa adalah sesuatu yang bersifat khas kebudayaan.
Banyak tulisan antropologi menyebutkan bahwa shaman adalah seorang yang tidak satabil dan sering mengalami delusi, dan mungkin ia adalah seorang wadam atau seorang homoseksual. Namun apabila ketidakstabilan jiwanya secara budaya diarahkan kedalam bentuk konstruktif, maka individu tersebut dibedakan dari orang lain yang mungkin menunjukkan tingkahlaku serupa,  namun digolongkan sebagai abnormal olah para warga masyarakat dan merupakan subjek dari  upacara penyembuhan. Nyatanya ada serangkaian kemungkinan respon kepada orang yang sakit jiwa, dan sebagian dari macam respon itu  terhadap satu orang yang sakit jiwa, dan sebagian dari macam respon itu terhadap satu orang atau lebih dittentukan oleh sifat tingkahlakunya daripada oleh susunan budaya yang lebih dulu ada, untuk memberikan respon dalam bentuk yang seragam terdapat apapun yang di cap sebagai penyakit jiwa.

2.    Perawatan terhadap orang yang sakit jiwa
Dalam banyak masayrakat non-Barat, mayoritas orang yang menunjukkan tingkahlaku abnormal, kalau mereka tidak bersifat galak, lebih sering diberi kebebasan gerak dalam masyarakat mereka; kebutuhan mereka dipenuhi oeh anggota keluarga mereka. Menurut Lambo, dalam masyarakat Afrika, bahkan yang menderita psikosis berat dan cacat mentalpun diberi tempat sebagai warga masyarakat yang menjalankan fungsinya dalam masyarakatnya, apabila mereka dapat mengurus diri  mereka sendiri sampai pada tingkatan kecukupan tertentu. Kontras antara tingkahlaku ahli terapi Barat dan penyembuh tradisional juga menyolok. Penyembuh Barat tidak boleh terlibat secara pribadi dengan pasiennya, ia harus bersikap empati, tidak boleh memvonis, harus bersifat hangat dan manusiawi,serta menunjukkan tingkahlaku yang menuntuk keterlibatan pasien dengan penyembuh itu melalui fenomena penyerahan. Seorang ahli terpi Barat, nyatanya, sangat berbeda dalam pendekatannya kepada pasien daripada dokter biasa. Sebaliknya, seorang penyembuh jiwa non-Barat yang terlibat dalam penyembuhan utama bertindak saat halnya seperti ketika ia mengobati penyakit fisik. Sang penyembuh “menyelubungi dirinya dangan peranan yang tak melibatkan emosi secara kuat,” menjalankan otoritas, kharisma, dan sering kali permainan sulap. “Walaupun ia mengenal benar si pasien, namun selama pengobatan ia akan menjalankan peran yang tak melibatkan emosi,” sehingga jarang ditemukan gejala penyerahan.

3.    Tujuan perawatan
Tujuan perawatan pada kedua pasien juga sangat berbeda. Perawatan dalam terapi Barat berkisar dari perawatan simptomatik, dari hal-hal seperti gerakan tics dan fobia sampai “pemongkaran besar-besaran kepribadian pasien”. Terapi Barat dalam arti tertentu, adalah redukasi; pasien didorong untuk mengembangkan suatu pandangan baru tentang dirinya sendiri, dengan harga diri yang lebih besar, agar ia bebas dari rasa sakit subjektif, kekhawatiran dan stres, mungkn untuk mencapai kebebasan yang lebih besar dan dapat berfungsi lebih efektif lagi dalam masyarakat. Sebaliknya, ahli-ahli terapi non-Baratsedikit sekali menggunakan reeduksi, memperkuat ego, dan modifikasi kepribadian. Mereka lebih pragmatis dalam pendekatannya, bertujuan mendapat hasil yang lebih cepat, yang berarti pengurangan atau penghapusan gejala abnormal yang dibawa pasien kepadanya.perbedaan lainnya lagi adalah hubunganverbal antara ahli terpai dengan pasien  merupakan dasar bagi perawatan Barat, maka pada bagian terbesar masyarakat non-Barat, banyak komunikasi verbal yang berlangsung adalah antara penyembah dengan roh-roh, dan melibatkan pasien secara langsung, komunikasi itu ditujukan padanya dan tidak selalu memerlukan jawaban.

PERBANDINGAN TIMBULNYA PENYAKIT JIWA DALAM MASYARAKAT YANG BERBEDA
1.    Mitos eksistensi “primitif” yang bebas-stres
Oarang Barat sejak lama percaya – dan ingin mempercayai – bahwa dalam masyarakat sederhana yang belum  dirusak oleh peradaban manusia hidup dalam hubungan alami satu sama lain, suatu hubungan yang ditandai dengan kasih-sayang, kerjasama dan gotong royong. Logikanya, karena tingkatan stres mestinya rendah dalam suatu masyarakat yang demikian, maka penyakit kejiwaan yang berasal dari kehidupan yang penuh stres tentunya juga jarang. Stereotip “nobel savage” (Si Liar yang Agung) mengenai kehidupan yang primitif ini telah lama sirna oleh fakta etnografis, namun bayangan itu masih tertinggal dan mewarnai pandangan mengenai penyakit jiwa.
Para ahli antropolgi psikiater yang telah melakukan studi terhadap berbagai masyarakat tradisional sependapat bahwa cara-cara bagaimana penderita sakit jiwa dirawat nampaknya mengurangi besarnya masalah itu; mereka juga sependapat bahwa, terpisah dari stres yang diakibatkan oleh perubahan sosial-budaya yang cepat, masyarakat tersebut bukannya asing terhadap tingkah laku abnormal.

2.    Variasi dalam pola-pola pokok tingkahlaku abnormal
Psikiater dan ahli antropologi yang percaya bahwa pola-pola dari tingkah laku abnormal yang diakui oleh para psikiater Baratdapat ditemukan diseluruh dunia. Ada variasi penting dalam bentuk, frekuensi, distribusi dan implikasi sosial dari tingkahlaku demikian. Leighton misalnya, menemukan bahwa banyak sekali pola-pola gejala yang ditunjukan oleh para pasien Yoruba adalah yang dikenal dalam ilmu psikiatri. Namun ia juga menemukan kesenjangan yang penting, terutama gejala-gejala fobia yang komplusif-obsesi, yang hampir tak ada. Gejala-gejala tersebut tidak ditentukan seperti itu, walaupun komponen-komponen dari sindroma seperti kehilangan gairah hidup, kekhawatiran yang ekstrim, vitalitas yang lemah, dan sebagainya, muncul dalam konteks lain. Psikofisiologi, psikoneurosis, kepribadian dan gejala kekacauan sosiopati, setuju bahwa gejala-gejala itu memang ada, tetapi pada umumnya dianggap tidak cukup serius untuk diberi cap “penyakit”. Bukti mengenai frekuensi gangguan jiwa dalam masyarakat non-Barat tidak terungkapkan dengan baik, teruma karena tidak adanya metode yang tepat untuk memperoleh data yang sahih. Banyak studi didasarkan pada statistik rumah sakit, namun di negara-negara Dunia Ketiga, dengan pelayanan kesehatan jiwa yang kurang berkembang, angka pendaftaran masuk rumah sakithampir tidak dapat dianggap mewakili angka yang sebenarnya.

PENYAKIT JIWA DAN PERUBAHAN
Apabila bukti tidak cukup baik mengenai perbandingan frekuensi dari berbagai jenis penyakit jiwa yang berbeda-beda dalam masyarakat yang berbeda-beda kompleksitasnya, maka para ahli antropologi dan psikiater sepakat bahwa bukti itu baik, sejauh yang berkenaan dengan konsekuensi dari perubahan sosial-budaya yang cepat: perubahan yang demikian itu menghasilakan angka rata-rata yeng tinggi tentang terjadinya insiden penyakit. Ada berbagai masyarakat yang memiliki kapasitas yang mengagumkan dalam menyerap stres dan menyediakan kesempatan alternatif dalam menghadapi kemalangan yang ekstrim dalam situasi yang berubah. Misalnya, dikalangan pemukim Jepang di California pada Perang Dunia II, “Komunitas dan keluarga etnis-struktur mereka, fungsi mereka, nilai mereka anut, dan ‘kebudayaan’ mereka,” merupakan sumber-suber kekuatan yang memungkinkan mereka bertahan dalam kehidupan di kamp tahanan dengan jumlah minuman dari mereka yang mengalami kehancuran mental. Namun, setelah orang Jepang telah semakin berakumulasi dan hampir sama dengan penduduk Amerika lainnya, ada bukti yang menunjukkan tentang adanya peningkatan patologi dari berbagai jenis.

GANGGUAN-GANGGUAN BUDAYA KHUSUS
Dalam bidang penyakit jiwa, tidak ada topik lain yang sedemikian menarik bagi ahli-ahli antropologi daripada yang disebut sebagai penykit budaya khusus (misalnya sindroma yang diperoleh dariketerangan para musafir dan misionaris pada periode awal, yang dihubungkan dengan kelompok-kelompok ras dan etnis khusus). Salah satu dari penyakit-penyakit yang terkenal itu adalah ‘Histeria kutub utara’ atau arctic hysteria (dikenal sebagai pibloktoq oleh orang eskimo); windigo, suatu obsesi kanibalistik di kalangan masyarakat Indian di Amerika Utara bagian timur laut, running amok, pembunuhan yang membabi buta antara kaum laki-laki Malaysia; latah, suatu  reaksi histeria yang bersifat meniru, hampir serupa dengan histeria Kutub orang Siberia; koro, ketakutan terhadap akan mengkerutnya penisnya dikalangan orang laki-laki Cina; dan  sustro, suatu kondisi kecemasan-depresif yang dilukiskan dibanyak daerah di Amerika Latin. 
Histeria Kutub Utara (arctic hysteria) ditemukan di kalangan penduduk kutub utara, muali dari orang Lappdi bagian barat sampai pada orang Eskimo di Greenland, di bagian timur. Foulks mengenal dua sindroma pokok: yang pertama ditandai olehsuatu mania meniru yang tanpa pemikiran, yang hanya ditemukan di Siberia, dan yang lainnya, keadaan disosiasif gila yang ditemukan pada semua kelompok penduduk Kutub Utara. Kedua bentuk ditandai (biasanya) oleh serangan tiba-tiba dari tingkah laku ganjil yang berlangsung hanya sebentar, diikuti oleh hilangnya gejala-gejala akut dan kembali keadaan normal. Para penderita pibloktoq merobek-robek baju mereka sendiri, sering bergumul dengan oorang lain dengan memiliki tenaga yang melebihi kekuatan manusia, menjatuhkan diri ketumpukan salju atau meniru suara burung dan binatanglain. Para pengamat Barat umumya membandingkan gejala-gejala tersebut dengan gejala-gejala histeria; jangkauan penjelasannya mulai dari interpretasi psikoanalisis tradisional smapai pada kondisi lingkungan yangmenyebabkan kekhawatiran yeng berlebihan mengenai makanan selama bulan-bulan di musim dingin. Namun beberapa peneliti menyarankan penjelasan tentang defisiensi makanan, terutama penurunan tingkat serum kalsium, sebagai kemungkinan sebab-sebab ppibloktoq.
Bahaya dari usaha untuk menginterpretasikan fenomena yang kompleks sebagai sesuatu yang bersifat unikasual. Sehubungan dengan kondisi lingkungan dan iklim yang keras, maka masalah nutrisi, bahaya penyakit khusus yang mempengaruhi otak, serat kondisi-kondisi sosial dan tekanan, merupakan unsur gabungan yang membuat individu tertentu yang peka diperlihatkan gejala dari waktu ke waktu, yang dulu disebut sebagai histeria Kutub Utara. Proposisi pokok dari studi ini, menurut Foulks, adalah bahwa tingkahlaku manusia itu sudah pasti bertambah dan bahwa teori-teori kasual yang tunggal dan linier itu kurang memiliki nilai yang komprehensif dan prediaktif.

KESIMPULAN
Kesimpulan Foulks menampilkan suatu kemajuan besar karena,para ahli antropologi umumnya bersalah karena mengikuti secara membabi buta model yang terdahulu tentang kebudayaan dan kepribadian sebagai cara untuk menjelaskan penyakit jiwa, dan mereka gagal untuk mengakui bahwa banyak kerusakan organik yang diketahui telah melahirkan gejala-gejala, yang pada dasarnya tidak bisa dibedakan dari gejala yang bisa pula dihasilkan oleh mekanisme psikososial. Suatu kerangka berpikir psikososial bagi studi tentang penyakit jiwa, dibandingkan dengan kerangka fisiologis, tentu saja lebih lazim bagi para antropologi, karena metode penelitiannya – terutama metode observasi – serata data itu sendiri yang “ menjelaskan” tentang tingkahlaku, adalah yang paling dikenal oleh mereka. Wallace menjelaskan kebutaan itu melalui presfektif sejarah: Sewaktu ahli antropologi, yang diawali dengan makalah Sapir tahun 1927, “The Unconscious Patterning of Behavior in Society” secara serius mulai meneliti tingkahlaku dan individu, dan pada teori psikiatri, khususnya teori Freud, telah dikembangkan dengan baik, pengetahuan tentang genetik dan struktur biokimia yang berkenaan dengan tingkahlaku masih sedemikian kurangnya dikembangkan, sehingga tidah amat berpengaruh terhadap perkembangan teori.
Kemajuan besar telah terjadi dalam hal membuka rahasia kimia otak. Banyak penelitian berpusat pada transmiter syaraf, zat yang disebut sebagai acetylcholine, dopamine, dan neropinephrine, yang merupakan utusan kimia dimana sel otak yang jumlahnya jutaan bisa berkomunikasi satu sama lain.

1 komentar:

  1. gak ada pendekatan lain yang bisa dipakai selain dengan label sosial kah?
    aku pernah denger tentang pendekatan gabungan, any clue?

    BalasHapus