ETNOPSIKIATRI
Konsep-konsep
tentang sebab penyakit dalam masyarakat rumpun dan petani, berbeda secara
mendasar dengan konsep yang merupakan ciri pengobatan ilmiah. Sejauh ini telah
mengamati perwujudan sistem kepercayaan itu, terutama dalam konteks penyakit
akut, penyakit infeksi, dan penyakit yang melemahkan, yang terbanyak mengambil
korban pada penduduk dunia. Namun etnomedisin juga mencakup studi tentang
bagaimana masyarakat tradisional memandang dan menangani penyakit jiwa.
Kebutuhan untuk menyatakan dikotomi antara penyakit fisik dan penyakit jiwa
lebih merupakan refleksi dari konsensus Barat daripada orientasi masyarakat
yang berakar dalam sistem kepercayaan naturalistik atau personalistik. Dalam
berbagai masyarakat tersebut , etiologi penyakit mendorong persatuan, bukannya
memisahkan keadaan fisik dari keadaaan emosional. Kalau di ingat penjelasan
mengenai sebab-sebab penyakit sikap tersebut tidak mengherankan. Dimana para
dewa, leluhur, setan, atau ahli sihir mendatangkan penyakit dengan cara masuk kedalam
para korannya, mengambil jiwa mereka, berbicara melalui tubuh mereka,
memerintah kehendak mereka, maka dapat dipastikan bahwa kekacauan, demam dan
kesengsaraan fisik maupun emosional akan terjadi.
AWAL
DARI ETNOPSIKIATRI
Perhatian
awal dari para ahli antropologi terhadap penyakit mental mulanya sangatlah jauh
dari bidang etnomedisin. Perhatian mereka itu mulai dari pemahaman atas
hubungan antara kepribadian dan kekuatan budaya yang berpengaruh dan membentuk
kepribadian. Perhatian utama ditujukan untuk menguji hipotesis Freud, untuk
menentukan apakah Oedipus kompleks itu bersufat universal. Apakah fase
perkembangan “oral,” “anal,” “genital,” dan “laten” dalam sejarah kehidupan
individu bersifat universal ataukah hanya terbatas pada masyarakat khusus. Ada
beberapa pertanyaan yang ditangani oleh para ahli antropologi:
1. Defenisi
budaya tentang “normal” dan “abnormal”, serta bagaimana penyakit jiwa diakui
dan didefenisikan dalam masyarakat lain di luar masyarakat Amerika. Ahli
antropologi bertanya “Tingkahlaku semacam apa yang dianggap mewujudkan penyakit
jiwa dalam masyarakat di dunia?”
2. Penjelasan
non-Barat tentang penyakit jiwa. Sebagaimana dapat mengkaji etiolog-etiologi
penyakit fisik non-Barat, juga dapat melakukan yang sama terhadap penyakit
jiwa.
3. Cara-cara
dari segi budaya untuk menangani tingkah laku yang menyimpang yang
didefenisikan sebagai abnormal. Ahli antropologi bertanya “siapa yang
menembuhkan, bagaimana caranya, dan teori serta tujuan apakah yang mendasari
pengobatan mereka?” Para ahli antropologi terutama menaruh perhatian kepada
pertanyaan tentang “pengendalian” tingkahlaku psikik yang menyimpang melalu
peranan yang secara sosial diinginkan, sepertinya misalnya dalam kasus shaman.
4. Terjadinya
penyakit jiwa dengan masayarakat dengan kompleksitas yang berbeda. Apakah,
misalnya, sakit jiwa relatif jarang terdapat dalam berbagai masyarakat yng
sederhana dan belum berubah, dan lebih umum di daerah perkotaan, simana stres
diduga lebih berat?
5. Demografi
penyakit jiwa. “Histeria Artic” dan “mengamuk” adalah gangguan kejiwaan yang
pertama muncul dalam tulisan etnologi. Gangguan lain yang dianggap gangguan
psikik, misalnya latah dan koro, telah seringkali digambarkan.
Penyakit budaya khusus tersebut menampilkan serangkaian masalah, berkenaan
dengan sebabnya, frekuensinya dan kondisi pencetusnya, yang telah menarik
perhatian ilmu antropologi. Mereka sering menggarisbawahi dimensi biobudaya
yang penting dalam penyait jiwa.
DEFENISI
BUDAYA TENTANG NORMAL DAN ABNORMAL
Berbagai
tingkalaku luarbiasa yang dianggap psikiater Barat sebagai penakit jiwa
ditemukan secara luas pada berbagai masyarakat non-Barat. Tidak semua jenis
tingkahlaku luar biasa yang dikenal dalam
masyarakat (Amerika) terdapat dalam setiap masyarakat lain, dan dalam
beberapa kebudayaan, telah dideskripsikan adanya sindroma (kumpulan
tingkahlaku) yang asing bagi sistem klasifikasi (misalnya Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders yang disusun
oleh America Psychiatric Assosiation).
1. Kasus
“teori label”
Adanya
variasa yang luas dari kelompok sindroma dan nama-nama untuk menyebutkannya
dalam berbagai masyarakat dunia, telah mendorong para ilmuan mengenai
tingkahlaku untuk menyatakan bahwa penyakit jiwa adalah suatu “mitos”, suatu
fenomena sosiologis, suatu hasil dari anggota masyarakat yang “beres” yang
merasa bahwa mereka membutuhkan sarana untuk menjelaskan, memberikan sanksi dan
mengendalikan tingkahlaku sesama mereka yang menyimpang atau yang berbahaya,
tingkahlaku yang kadang-kadang hanya “berbeda” dengan tingkahlaku mereka sendiri.
Argumen pokok yang mereka kemukakan adalahbahwa sekali tingkahlaku menyimpang
diberi cap menyimpang, betapapun ringannya atau sementaranya gejala itu, akan
tetap dijadikan stereotip dan stigma bagi yang bersangkutan. Kelompknya
mengharapkan tingkalaku tertentu darinya, memperlakukannya sedemikian rupa
sehingga ia menemukan tingkahlaku yang paling adaptifbaginya untuk menyesuaikan
diri dengan apa yang diharapkan kelompoknya itu. “Suatu label psikiatri
mempunyai kehidupan dan pengaruh tersendiri. Sekali terbentuk impresi bahwa
pasien menderita schizophrenia, harapan orang adalah bahwa ia akan selamanya
demikian.”
2. Argumentasi
terhadap pemberian label
Walaupun
teori label menarik sebagai suatu pendekatan untuk memahami danmenangani
penyakit jiwa, namun teori itu tidak banak diterima oleh para ahli antopologi
yang bekerja dalam bidang lintas-budaya edgerton, misalnya, tidak menyukai
label psikiatri yang bersifat menentukan sendiri, untuk mengidentifikasi sakit.
Ia beranggapan bahwa kelompoklah, bukannya cap itu, yang menetapkan pengertian
abnormalitas. Pengakuan dan penamaan penyakit jiwa, menurut pendapatnya,
merupakan bentuk dari suatu proses negiosasi suatu transaksi sosial yang
mencakup konsensus ekstensif dalam masyarakat. Edgerton mempelajari proses
negoisasi diantara pasien, penyembuh, kerabat dan handai-tolan dalam pemberian
label untuk penyakit jiwa pada empat kelompok masyarakat di Afrika dan
menyimpulkan bahwa “Akibat tekanan negoisasi sosial , mudah sekali timbul
presepsi tentang sakit jiwa tanpa pemberian cap selanjutnya, memberi cap pada
tindakan selanjutnya, bahkan ada pula psikosis tanpa presepsi”. Label yang
diberian, tindakan yang yang mengikutinya dan presepsi yang mendahuluinya,
semua adalah hasil dari proses sosial yang melibatkan moral dan hukum.
Pemberian label, katanya, bukanlah tindakan main-main ataupun sepihak,
sebagaimana orang telah dibuat yakin. ”Bila
perhatian dibatasi pada perbandingan pola-pola gejala dan bukannya pada
ketegori-kategori diagnostik, maka sebagian besar hambatan lintas-budaya akan
lenyap”.
ETIOLOGI-ETIOLOGI
PENYAKIT JIWA NON-BARAT
Diantara
orang Eskimo di pulau St. Lawrence yang telah terakumulasi, kesurupan
dihubungkan dengan shamanisme, namun tidak dengan gangguan spikiatrik berat,
walaupun hal ini berlaku di kalangan penduduk Eskimo lainnya yang kurang
terakumulasi, magi dan ilmu sihir merupakan penjelasa, sebagai mana halnya
dengan faktor stres yang dikatakan akibat “terlalu khawatir” dan “mudah takut”
dan sebagainya. Faktor keturunan dijelaskan dengan sindroma “lamban belajar”
yang dideskripsikan informan sebagai terdapat dalam keluarga-keluarga.
Pelanggaran tabu, termasuk kawin sumbang, seringkali disebut-sebut sebagai
penyebab ketidakwarasan. Seperti dapat dilihat, suatu karakteristik dari banyak
kebudayaan non-Barat adalah adanya suatu sintesis dari suatu sistem medis
dengan sistem kepercayaan lainnya, dalam hal ini merupakan masalah analitis
yang serius bagi para pengamat Barat. Penggabungan antara pengobatan, kosmologi
dan hukum yang nampak pada penduduk asli Australia adalah sedemikian rupa
sehingga pemisahan sistem medisnya – dan khususnya sindroma penyakit jiwa –
merupakan tantangan berat bagi para peneliti.
Sebagai
suatu alat bantu studi tentang penyakit jiwa, ia menyarankan tentang beberapa
klasifikasi “tematik” mengenai maladaptasi, yang masing-masing bermanfaat untuk
tujan khususnya. Klasifiasi tersebut termasuk suatu skema ungkapan sehari-hari
yang mendramatisir masalah akulturasi, suatu klasifikasi pribumi mengenai
konsep penyakit seperti tenung, masuknya roh, dan sebagainya, suatu pemecahan
dari ilmu tenung ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil sesuai dengan
aturan yang tidak dinyatakan, dan penggunaan klasifikasi klinik modern mengenai
penyakit jiwa yang berdasarkan atas Standard
Nomenclature of Disease. “Klasifikasi ini membuat para ahli antropologi
terheran-heran karena mencapur-adukkan antara etiolgi dengan perwuudan antara
sebab-sebab dangan gejala-gajala, namun para pekerja medis telah terbiasa
dengannya; dan pedoman itu adalah yang terbaik yang kita miliki.” Apabla dibuat
generalisasi atas perbedaan etiologi kejiwaaan Barat dan non-Barat, faktor
psikologis, pengalaman hidup dan stres nampak kurang memainkan peranan
dibandingkan dengan yang terdapat dalam masyarakat Barat.
CARA-CARA
BUDAYA DALAM MENANGANI PENYAKIT JIWA
1. Siapa
yang menyembuhkan?
Walaupun
banyak bentuk tingkahlaku menyimpang nampaknya bersifat universal, cara-cara
untuk menanganinya, nilai sosial yang diberikan untuk tingkahlaku yang
menyimpang, dara pengobatannya sangat bervariasi. Para ahli antropologi
terutama menaruh perhatian pada ciri-ciri psikologis dan sosial dari para
shaman. Berasal dari bahasa Tungus, Siberia, istilah tersebut digunakan dalam
arti umum tentang penyembuh yang telah memiliki kekuatan supranatural dankontak
dengan roh-roh, biasanya diperoleh melalui “pemilihan” oleh para roh. Dalam
pengobatan, shaman biasanya berada dalam keadaan kesurupan, dimana mereka
berhubungan dengan roh pembinanya untuk mendiagnosa penyakit. Para penganut
paham kebudayaan relativisme dengan ekstrim menggunakan contoh shamanisme
sebagai hambtan utama dalam argumentasi mereka bahwa apa yang disebut penyakit
jiwa adalah sesuatu yang bersifat khas kebudayaan.
Banyak
tulisan antropologi menyebutkan bahwa shaman adalah seorang yang tidak satabil
dan sering mengalami delusi, dan mungkin ia adalah seorang wadam atau seorang
homoseksual. Namun apabila ketidakstabilan jiwanya secara budaya diarahkan
kedalam bentuk konstruktif, maka individu tersebut dibedakan dari orang lain
yang mungkin menunjukkan tingkahlaku serupa,
namun digolongkan sebagai abnormal olah para warga masyarakat dan
merupakan subjek dari upacara
penyembuhan. Nyatanya ada serangkaian kemungkinan respon kepada orang yang
sakit jiwa, dan sebagian dari macam respon itu
terhadap satu orang yang sakit jiwa, dan sebagian dari macam respon itu
terhadap satu orang atau lebih dittentukan oleh sifat tingkahlakunya daripada
oleh susunan budaya yang lebih dulu ada, untuk memberikan respon dalam bentuk
yang seragam terdapat apapun yang di cap sebagai penyakit jiwa.
2. Perawatan
terhadap orang yang sakit jiwa
Dalam
banyak masayrakat non-Barat, mayoritas orang yang menunjukkan tingkahlaku
abnormal, kalau mereka tidak bersifat galak, lebih sering diberi kebebasan
gerak dalam masyarakat mereka; kebutuhan mereka dipenuhi oeh anggota keluarga
mereka. Menurut Lambo, dalam masyarakat Afrika, bahkan yang menderita psikosis
berat dan cacat mentalpun diberi tempat sebagai warga masyarakat yang
menjalankan fungsinya dalam masyarakatnya, apabila mereka dapat mengurus
diri mereka sendiri sampai pada
tingkatan kecukupan tertentu. Kontras antara tingkahlaku ahli terapi Barat dan
penyembuh tradisional juga menyolok. Penyembuh Barat tidak boleh terlibat
secara pribadi dengan pasiennya, ia harus bersikap empati, tidak boleh
memvonis, harus bersifat hangat dan manusiawi,serta menunjukkan tingkahlaku
yang menuntuk keterlibatan pasien dengan penyembuh itu melalui fenomena
penyerahan. Seorang ahli terpi Barat, nyatanya, sangat berbeda dalam
pendekatannya kepada pasien daripada dokter biasa. Sebaliknya, seorang
penyembuh jiwa non-Barat yang terlibat dalam penyembuhan utama bertindak saat
halnya seperti ketika ia mengobati penyakit fisik. Sang penyembuh “menyelubungi
dirinya dangan peranan yang tak melibatkan emosi secara kuat,” menjalankan
otoritas, kharisma, dan sering kali permainan sulap. “Walaupun ia mengenal
benar si pasien, namun selama pengobatan ia akan menjalankan peran yang tak
melibatkan emosi,” sehingga jarang ditemukan gejala penyerahan.
3. Tujuan
perawatan
Tujuan
perawatan pada kedua pasien juga sangat berbeda. Perawatan dalam terapi Barat
berkisar dari perawatan simptomatik, dari hal-hal seperti gerakan tics dan fobia sampai “pemongkaran
besar-besaran kepribadian pasien”. Terapi Barat dalam arti tertentu, adalah
redukasi; pasien didorong untuk mengembangkan suatu pandangan baru tentang
dirinya sendiri, dengan harga diri yang lebih besar, agar ia bebas dari rasa
sakit subjektif, kekhawatiran dan stres, mungkn untuk mencapai kebebasan yang
lebih besar dan dapat berfungsi lebih efektif lagi dalam masyarakat.
Sebaliknya, ahli-ahli terapi non-Baratsedikit sekali menggunakan reeduksi,
memperkuat ego, dan modifikasi kepribadian. Mereka lebih pragmatis dalam
pendekatannya, bertujuan mendapat hasil yang lebih cepat, yang berarti
pengurangan atau penghapusan gejala abnormal yang dibawa pasien
kepadanya.perbedaan lainnya lagi adalah hubunganverbal antara ahli terpai
dengan pasien merupakan dasar bagi
perawatan Barat, maka pada bagian terbesar masyarakat non-Barat, banyak komunikasi
verbal yang berlangsung adalah antara penyembah dengan roh-roh, dan melibatkan
pasien secara langsung, komunikasi itu ditujukan padanya dan tidak selalu
memerlukan jawaban.
PERBANDINGAN
TIMBULNYA PENYAKIT JIWA DALAM MASYARAKAT YANG BERBEDA
1. Mitos
eksistensi “primitif” yang bebas-stres
Oarang Barat sejak lama percaya – dan
ingin mempercayai – bahwa dalam masyarakat sederhana yang belum dirusak oleh peradaban manusia hidup dalam hubungan
alami satu sama lain, suatu hubungan yang ditandai dengan kasih-sayang,
kerjasama dan gotong royong. Logikanya, karena tingkatan stres mestinya rendah
dalam suatu masyarakat yang demikian, maka penyakit kejiwaan yang berasal dari
kehidupan yang penuh stres tentunya juga jarang. Stereotip “nobel savage” (Si
Liar yang Agung) mengenai kehidupan yang primitif ini telah lama sirna oleh
fakta etnografis, namun bayangan itu masih tertinggal dan mewarnai pandangan
mengenai penyakit jiwa.
Para ahli antropolgi psikiater yang
telah melakukan studi terhadap berbagai masyarakat tradisional sependapat bahwa
cara-cara bagaimana penderita sakit jiwa dirawat nampaknya mengurangi besarnya
masalah itu; mereka juga sependapat bahwa, terpisah dari stres yang diakibatkan
oleh perubahan sosial-budaya yang cepat, masyarakat tersebut bukannya asing
terhadap tingkah laku abnormal.
2. Variasi
dalam pola-pola pokok tingkahlaku abnormal
Psikiater
dan ahli antropologi yang percaya bahwa pola-pola dari tingkah laku abnormal
yang diakui oleh para psikiater Baratdapat ditemukan diseluruh dunia. Ada variasi
penting dalam bentuk, frekuensi, distribusi dan implikasi sosial dari
tingkahlaku demikian. Leighton misalnya, menemukan bahwa banyak sekali
pola-pola gejala yang ditunjukan oleh para pasien Yoruba adalah yang dikenal
dalam ilmu psikiatri. Namun ia juga menemukan kesenjangan yang penting,
terutama gejala-gejala fobia yang komplusif-obsesi, yang hampir tak ada.
Gejala-gejala tersebut tidak ditentukan seperti itu, walaupun komponen-komponen
dari sindroma seperti kehilangan gairah hidup, kekhawatiran yang ekstrim,
vitalitas yang lemah, dan sebagainya, muncul dalam konteks lain.
Psikofisiologi, psikoneurosis, kepribadian dan gejala kekacauan sosiopati,
setuju bahwa gejala-gejala itu memang ada, tetapi pada umumnya dianggap tidak
cukup serius untuk diberi cap “penyakit”. Bukti mengenai frekuensi gangguan
jiwa dalam masyarakat non-Barat tidak terungkapkan dengan baik, teruma karena
tidak adanya metode yang tepat untuk memperoleh data yang sahih. Banyak studi
didasarkan pada statistik rumah sakit, namun di negara-negara Dunia Ketiga,
dengan pelayanan kesehatan jiwa yang kurang berkembang, angka pendaftaran masuk
rumah sakithampir tidak dapat dianggap mewakili angka yang sebenarnya.
PENYAKIT JIWA DAN PERUBAHAN
Apabila bukti
tidak cukup baik mengenai perbandingan frekuensi dari berbagai jenis penyakit
jiwa yang berbeda-beda dalam masyarakat yang berbeda-beda kompleksitasnya, maka
para ahli antropologi dan psikiater sepakat bahwa bukti itu baik, sejauh yang
berkenaan dengan konsekuensi dari perubahan sosial-budaya yang cepat: perubahan
yang demikian itu menghasilakan angka rata-rata yeng tinggi tentang terjadinya
insiden penyakit. Ada berbagai masyarakat yang memiliki kapasitas yang
mengagumkan dalam menyerap stres dan menyediakan kesempatan alternatif dalam
menghadapi kemalangan yang ekstrim dalam situasi yang berubah. Misalnya,
dikalangan pemukim Jepang di California pada Perang Dunia II, “Komunitas dan
keluarga etnis-struktur mereka, fungsi mereka, nilai mereka anut, dan
‘kebudayaan’ mereka,” merupakan sumber-suber kekuatan yang memungkinkan mereka
bertahan dalam kehidupan di kamp tahanan dengan jumlah minuman dari mereka yang
mengalami kehancuran mental. Namun, setelah orang Jepang telah semakin
berakumulasi dan hampir sama dengan penduduk Amerika lainnya, ada bukti yang
menunjukkan tentang adanya peningkatan patologi dari berbagai jenis.
GANGGUAN-GANGGUAN BUDAYA KHUSUS
Dalam bidang
penyakit jiwa, tidak ada topik lain yang sedemikian menarik bagi ahli-ahli
antropologi daripada yang disebut sebagai penykit budaya khusus (misalnya
sindroma yang diperoleh dariketerangan para musafir dan misionaris pada periode
awal, yang dihubungkan dengan kelompok-kelompok ras dan etnis khusus). Salah
satu dari penyakit-penyakit yang terkenal itu adalah ‘Histeria kutub utara’
atau arctic hysteria (dikenal sebagai
pibloktoq oleh orang eskimo); windigo, suatu obsesi kanibalistik di
kalangan masyarakat Indian di Amerika Utara bagian timur laut, running amok, pembunuhan yang membabi
buta antara kaum laki-laki Malaysia; latah,
suatu reaksi histeria yang bersifat
meniru, hampir serupa dengan histeria Kutub orang Siberia; koro, ketakutan terhadap akan mengkerutnya penisnya dikalangan
orang laki-laki Cina; dan sustro, suatu kondisi kecemasan-depresif
yang dilukiskan dibanyak daerah di Amerika Latin.
Histeria Kutub
Utara (arctic hysteria) ditemukan di
kalangan penduduk kutub utara, muali dari orang Lappdi bagian barat sampai pada
orang Eskimo di Greenland, di bagian timur. Foulks mengenal dua sindroma pokok:
yang pertama ditandai olehsuatu mania meniru yang tanpa pemikiran, yang hanya
ditemukan di Siberia, dan yang lainnya, keadaan disosiasif gila yang ditemukan
pada semua kelompok penduduk Kutub Utara. Kedua bentuk ditandai (biasanya) oleh
serangan tiba-tiba dari tingkah laku ganjil yang berlangsung hanya sebentar,
diikuti oleh hilangnya gejala-gejala akut dan kembali keadaan normal. Para
penderita pibloktoq merobek-robek
baju mereka sendiri, sering bergumul dengan oorang lain dengan memiliki tenaga
yang melebihi kekuatan manusia, menjatuhkan diri ketumpukan salju atau meniru
suara burung dan binatanglain. Para pengamat Barat umumya membandingkan
gejala-gejala tersebut dengan gejala-gejala histeria; jangkauan penjelasannya
mulai dari interpretasi psikoanalisis tradisional smapai pada kondisi lingkungan
yangmenyebabkan kekhawatiran yeng berlebihan mengenai makanan selama
bulan-bulan di musim dingin. Namun beberapa peneliti menyarankan penjelasan
tentang defisiensi makanan, terutama penurunan tingkat serum kalsium, sebagai
kemungkinan sebab-sebab ppibloktoq.
Bahaya dari
usaha untuk menginterpretasikan fenomena yang kompleks sebagai sesuatu yang
bersifat unikasual. Sehubungan dengan kondisi lingkungan dan iklim yang keras,
maka masalah nutrisi, bahaya penyakit khusus yang mempengaruhi otak, serat kondisi-kondisi
sosial dan tekanan, merupakan unsur gabungan yang membuat individu tertentu
yang peka diperlihatkan gejala dari waktu ke waktu, yang dulu disebut sebagai
histeria Kutub Utara. Proposisi pokok dari studi ini, menurut Foulks, adalah
bahwa tingkahlaku manusia itu sudah pasti bertambah dan bahwa teori-teori
kasual yang tunggal dan linier itu kurang memiliki nilai yang komprehensif dan
prediaktif.
KESIMPULAN
Kesimpulan Foulks menampilkan suatu kemajuan besar
karena,para ahli antropologi umumnya bersalah karena mengikuti secara membabi
buta model yang terdahulu tentang kebudayaan dan kepribadian sebagai cara untuk
menjelaskan penyakit jiwa, dan mereka gagal untuk mengakui bahwa banyak
kerusakan organik yang diketahui telah melahirkan gejala-gejala, yang pada
dasarnya tidak bisa dibedakan dari gejala yang bisa pula dihasilkan oleh
mekanisme psikososial. Suatu kerangka berpikir psikososial bagi studi tentang
penyakit jiwa, dibandingkan dengan kerangka fisiologis, tentu saja lebih lazim
bagi para antropologi, karena metode penelitiannya – terutama metode observasi
– serata data itu sendiri yang “ menjelaskan” tentang tingkahlaku, adalah yang
paling dikenal oleh mereka. Wallace menjelaskan kebutaan itu melalui presfektif
sejarah: Sewaktu ahli antropologi, yang diawali dengan makalah Sapir tahun
1927, “The Unconscious Patterning of Behavior in Society” secara serius mulai
meneliti tingkahlaku dan individu, dan pada teori psikiatri, khususnya teori
Freud, telah dikembangkan dengan baik, pengetahuan tentang genetik dan struktur
biokimia yang berkenaan dengan tingkahlaku masih sedemikian kurangnya
dikembangkan, sehingga tidah amat berpengaruh terhadap perkembangan teori.
Kemajuan besar telah terjadi dalam hal membuka
rahasia kimia otak. Banyak penelitian berpusat pada transmiter syaraf, zat yang
disebut sebagai acetylcholine, dopamine, dan neropinephrine, yang merupakan
utusan kimia dimana sel otak yang jumlahnya jutaan bisa berkomunikasi satu sama
lain.
gak ada pendekatan lain yang bisa dipakai selain dengan label sosial kah?
BalasHapusaku pernah denger tentang pendekatan gabungan, any clue?